Kelimastruktur tersebut ialah orientasi, perumitan peristiwa, komplikasi, resolusi dan koda. Jadi, saat menyusun teks cerita inspiratif perlu memperhatikan struktur tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini beberapa contoh teks cerita inspiratif beserta strukturnya, seperti dilansir dari laman Serupa dan Dosenbahasa, Rabu (10/3/2021).
Mariberbagi cerita inspiratif mengenai kehidupan Catatan mengenai sejarah, misteri, dan anugerah Saturday, November 21, 2020. kita akan memilih bahasa yang digunakan tergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi apabila kita berhadapan dengan orang tua atau yang di hormati maka kita akan memakai bahasa resmi (standar) sedangkan dengan
MengejarKebanggaan. Tri Gozali, Jumat, 19 November 2010. "Pride is personal commitment. It is an attitude which separates excellence from mediocrity. – Kebanggaan merupakan komitmen personal. Itu merupakan sikap yang memisahkan antara yang sempurna dan tidak." Paul Bryan. Mempunyai sesuatu yang dapat dibanggakan merupakan dambaan
CeritaIslam Tentang Kematian Aku Khalilullah, bagaimana mungkin kau akan menyabut nyawaku?." Kumpulan Cerita Inspiratif Dan Motivasi Saat aku mulai mengenal kampung tempatku tinggal, kakek Otto sudah begitu populer. Create By IP Tahukah anda pembaca yang budiman Amal yang disukai Alloh ada Amal Berbakti kepada orang
KumpulanCerpen Tentang Ibu Tercinta. Seorang ibu merupakan orang yang paling mencintai dan menyayangi kita sepenuh raga. Dengan segenap kemampuan yang dia miliki, tercurah kecintaan yang besar dan tiada henti. Untuk itulah, kita diharuskan untuk menghargai dan
Dipodcastini kamu bisa mendengar berbagai kisah/cerita inspiratif yang tentunya dapat kamu ambil hikmah dan maknanya serta dapat kamu terapkan di kehidupan nyata. Membahagiakan Orang Tua. Cerita kali ini kita akan mendengar satu cerita yang dapat kita ambil pelajarannya tentang pentingnya kita membahagiakan orang tua kita. Mohon maaf bila
KisahInspiratif 2 Seorang mahasiswa memasuki ruang kelas untuk belajar. Namun ada pemandangan aneh yang menyertainya, ternyata ia membawa serta ayahnya ke dalam ruang kelas. Ketika sang dosen menanyakan dia menjawab bahwa ayahnya sedang sakit stroke dan ia tidak tega meninggalkannya sendirian dirumah.
JudulBuku: Sehangat Pelukan Ayah Bunda Penulis: Naufal Abid Athaillah, dkk ISBN: -9 Penerbit: Rumah Media Halaman: 160 Jenis Tulisan: Bunga Rampai Tema: Penulis Cilik Cerita Tentang Orang Tua Jilid: Soft Cover Beli Versi Ebook di sini
m38OI. Kisah di bawah ini merupakan gambaran mengenai kasih sayang orang tua. Semoga bisa mengingatkan kita kembali mengenai betapa besarnya kasih sayang orang tua kita. Dan memberi kita inspirasi untuk lebih berbakti lagi kepada kedua orang tua kita. Suatu petang seorang ayah dan anak berincang-bincang di halaman rumah. Anak ini baru menamatkan pendidikan tingginya. Mereka duduk-duduk sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka. Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting salah satu pohon. Si ayah lalu menuding jari ke arah gagak “Nak, apakah benda itu?” tanya si ayah. “Burung gagak”, jawab si anak. Namun kemudian sang ayah mengulangi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi, lalu menjawab dengan sedikit kuat, “Itu burung gagak, Ayah!” Si ayah mengangguk-angguk. Tetapi sejurus kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama. Si anak merasa sedikit bingung dengan pertanyaan yang sama diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih kuat, “Itu Gagak, Ayah!” Si ayah terdiam. Namun tidak lama kemudian sekali lagi sang ayah mengajukan pertanyaan yang serupa hingga membuat si anak hilang kesabaran dan menjawab dengan nada tinggi & kesal kepada si ayah, “Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Tapi sudah 4 kali Ayah bertanya soal hal tersebut dan saya sudah juga memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya katakan???? Itu burung gagak, burung gagak, Ayah…..!”, kata si anak dengan nada yang begitu marah. Si ayah lalu tersenyum. Kemudian bangun menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang kebingungan. Sesaat kemudian si ayah keluar lagi dengan sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih geram dan bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama. “Coba kau baca apa yang pernah Ayah tulis di dalam diary ini,” pinta si Ayah. Si anak setuju dan membaca paragraf berikut. “Hari ini aku di halaman rumah. Melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon mangga. Anakku terus-menerus menunjuk ke arah burung gagak itu dan bertanya, “Ayah, apa itu?” Dan aku menjawab, “Burung gagak.” Walau bagaimana pun, anakku terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku kelak.” Setelah selesai membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu. Si Ayah dengan perlahan bersuara, “Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak 4 kali, dan kau telah hilang kesabaran serta marah.” Kata sang ayah sambil tersenyum. Lalu si anak seketika itu juga menangis dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya memohon maaf atas apa yang telah ia perbuat. PESAN MORAL Jagalah hati dan perasaan kedua orang tua, hormatilah mereka. Ingat, betapa besar kasih sayang orang tua kita. Sayangilah mereka dan doakan ampunan untuk kedua orang tua. Sungguh celaka, orang yang mendapati orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi dengan itu dia tidak masuk syurga karena tidak sabar dalam berbakti. Semoga kita termasuk yang sabar dalam berbakti kepada mereka. Jika kita mencoba membandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan jalan mengurusi kedua orang tua yang sudah lanjut usia dengan ketika kedua orang tua kita mebesarkan serta mendidik kita sewaktu masih kecil, maka berbakti kepada keduanya masih terbilang labih ringan Kita sudah banyak mempelajari tuntunan berkenaan dengan kasih sayang orang tua & berbakti kepada kedua orang tua. Tapi berapa banyak yang sudah dimengerti oleh kita apalagi diamalkan?? Sumber / Reference Nama AndaNew Johny WussUpdated 81400 PM
Pada suatu hari, ada seorang laki-laki bertanyakepada Rasulullah SAW -baiknya perlakuan?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Mendenagar jawaban Rasulullah, laki-laki itu pun pulang. "Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak untuk kami hormati dengan sebaik- baiknya. Esok harinya, laki-laki itu datang lagi menghadap Rasulullah. la bertanya kepada Rasulullah dengan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kami cintai dengan sebaik-baiknya perlakuan?" Rasulullah pun menjawab kembali dengan jawaban yang sama, "Ibumu." Untuk ketiga kalinya ia bertanya kembali, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kami sayangi dengan sebaik-baiknya perlakuan selain ibuku?" kemudian Rasulullah menjawab, "Ibumu." Laki-laki tersebut semakin penasaran, ia pun mencoba memberanikan dirinya untuk bertanya kembali kepada Rasulullah. "kemudian siapa lagi selain ibuku?"kemudian Rasulullah mwnjawab, "Tentu Bapakmu." Belum sempat laki-laki itu melangkahkan kakinya untuk pulang. Rasulullah berkata, "Wahai saudaraku, bahwa tentang perlakuan yang sebaik-baiknya kepada kedua orang tuamu Allah berfirman "Dan Tuhanmu telah memeritahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaknya kamu berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkatan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, 'Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. " Al-lsraa2324 Hikmah Cerita Berbakti dan menghormati orang tua dimulai dari ibu, kemudian bapak. Bukan berarti seorang bapak tidak penting, Al-Qur' an telah menyebutkan ibu-bapak secara bersamaan. Bahkan seorang ibu pun harus berbakti dan taat kepada suaminya. Sumber 65 Dongeng Pengantar tidur untuk Anak Muslim, Lintas Media Penulis DAVA AGHATA FAUZAN, Santri Madin Irsyadul 'awwam Sidanegara Kaligondang Purbalingga Jawa Tengah. Editor Ahmad Prayitno.
Kabehaya – “Apakah Anda bersedia bekerja di bawah tekanan, bahkan hingga di tanggal merah atau di luar jam kerja?”, tanyanya. Pertanyaan ini cukup membuat saya berdesir ragu untuk melanjutkan menjawab. Perkenalkan. Aku adalah Rudy, seorang yang baru lulus sarjana dengan predikat yang cukup membuatku bangga. Aku lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Tidak kaya, bahkan terkadang malah cenderung lebih banyak kurangnya. Namun, siapa sangka ternyata aku bisa berkuliah sampai sarjana. Hari ini adalah momenku untuk mencari kerja. Aku pergi ke luar kota, mencari kesempatan yang lebih baik untuk menjadi laki-laki merdeka. Nilai yang baik sudah aku genggam. Berbagai prestasi yang aku miliki sudah cukup memuaskan. Aku yakin bahwa aku akan mendapat pekerjaan di hari pertama. Seperti perusahaan pada umumnya, akan selalu ada permintaan untuk membuat sebuah motivation letter sebagai syarat administrasinya. Singkatnya, aku hanya membagikan seperlunya. Cukup aku dengan prestasiku, keberhasilanku, dan beberapa cerita tentang keluarga kecilku termasuk pekerjaan ayah dan ibu. Keluarga kecilku ini hanya terdiri dari aku, kedua orang tuaku, serta seorang adik yang usianya beberapa tahun di bawahku. Sebenarnya alasanku mencari kerja bukan hanya mencari kesempatan yang lebih baik. Melainkan, karena aku yang sudah bosan dengan suasana rumah dan ingin bebas lepas dari mengurus orang tua yang sudah sangat renta. Aku rasa, sudah giliran adikku yang seharusnya merawat mereka, bukan aku. Aku perlu menjalani kehidupan yang aku impikan. Aku tidak ingin menjadi seperti ayah yang hanya bekerja sebagai kuli bangunan ataupun ibu yang hanya bekerja sebagai tukang cuci kiloan. Aku ingin tinggal di kota, memiliki pekerjaan yang baik, membeli barang yang aku impikan, bersenang-senang, dan yang lainnya. Kerja kerasku selama kuliah akan aku dapatkan sekarang. Jika aku masih di rumah, mana mungkin aku bisa menikmati kehidupan? Aku harus pergi dari rumah itu, sesegera yang aku bisa. Singkat cerita, gumamanku selama perjalanan di bis berhasil mengisi waktu hingga aku tiba di tempat interview kerja. Aku percaya diri. Memasuki gedung tingkat tinggi, aku siap melangkahkan kaki menuju masa depan yang lebih berarti. “Permisi Pak, Selamat Siang, boleh saya duduk?”, tanya saya. “Baik, silakan.”, ucap pewawancara kepada saya, yang selanjutnya ia memperkenalkan diri bahwa ia adalah Pak Firman. Sesi wawancara pun dimulai. Pertanyaan demi pertanyaan mampu saya jawab dengan meyakinkan. Pewawancara memberikan respons positif atas setiap jawaban yang aku sampaikan. Dalam hati aku merasa puas dan bangga. “Wah Rudii, kamu hebat sekali memang. Kerja kerasmu akan terbayarkan!”, gumam saya dalam hati. Dengan senyum percaya diri, aku yakin bahwa aku akan diterima kerja di sini. Namun, ketika berbagai pertanyaan yang aku pelajari telah selesai diberikan, Pak Firman mulai memberikan berbagai pertanyaan yang rasanya tidak pernah aku pelajari. Hal ini membuat aku kebingungan. Kemudian, “Rudi, boleh coba lihat kedua tangan kamu?”, tanya Pak Firman kepadaku. Aku cukup heran, namun aku menjawab dengan sopan dan menyodorkan kedua tangan saya ke bapak itu. Bapak itu membuka tangan saya dengan “Hmmmm… Sudah saya duga.. Baik Rudi, terima kasih banyak.”, ucap Pak Firman. “Mohon maaf, ada apa ya Pak?”, tanya saya kebingunan. “Rudi, saya belum bisa memberikan keputusan atau tawaran lebih jauh kepada kamu untuk sekarang. Namun, saya melihat bahwa kamu memiliki potensi yang sangat baik, namun melupakan beberapa hal yang paling penting dalam hidup. Saya masih khawatir akan menyesal jika saya menerima kamu sekarang.”, jelas Pak Firman sambil menghela nafas panjang. “M-maksudnya Pak..?”, tanyaku kepada Pak Firman, sambil merasa terkejut dan seolah merasa tidak terima. “Silakan pulang, temui kedua orang tua kamu. Saya ingin kamu melihat tangan kedua orang tuamu ketika kamu sudah sampai di rumah. Jika sudah mengerti, silakan kembali lagi ke sini, temui saya.”, ucap Pak Firman begitu saja. Saya tidak habis pikir dengan apa yang Pak Firman pikirkan. Dia telah memberikan respons yang sangat positif atas setiap jawabanku sebelumnya. Tapi, mengapa menyuruh saya untuk pulang terlebih dahulu dan menemui orang tua jika nanti saya disuruh untuk kembali ke sana? Jika saya memang tidak diterima, bukankah seharusnya saya tidak perlu kembali? Jika saya diterima, mengapa saya harus pulang terlebih dahulu dan kembali setelah dari luar kota? Ahhh, menyebalkan sekali. Apa, sebaiknya aku coba untuk mendaftarkan diri ke perusahaan lainnya saja? Perjalanan dari kota ke rumahku cukup jauh. Aku sampai ketika petang menjelang. Aku lelah. Kesal. Marah. Apa yang aku dapatkan tidak sesuai dengan harapan. Sampai di rumah, Ibu dan Bapak seperti biasa sedang berkumpul di ruang keluarga setelah Maghrib. Mereka menanti cerita dariku, yang sebenarnya aku sendiri malas untuk menceritakannya. “Ini, diminum dulu, Mas.”, ucap adikku yang membuatkan aku teh manis. “Iya, makasih Dek.”, ucapku. Setelah aku bersih bersih, aku masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Pak Firman kepadaku tadi siang. Dia ingin agar aku melihat tangan kedua orang tuaku. Apakah maksudnya ini kiasan? Aku tidak mengerti. Sulit sekali aku memahami. Akhirnya, ketika menjelang tidur, aku sempatkan diriku untuk datang ke kamar bapak dan ibu. Aku izin masuk, dan menyampaikan bahwa aku diminta untuk melihat tangan bapak dan ibu. “Halah jangan Mas…”, ucap Ibu, begitupun dengan Bapak. Aku cukup heran, mengapa mereka tidak mau menunjukkan tangannya kepadaku. Namun, karena ini urusan pekerjaan, maka aku aga memaksa dan bahkan aku “merebut” telapak tangan yang mereka sembunyikan, agar aku bisa melihatnya lebih jelas. Aku berhasil merebut telapak tangan ibu. Dan tiba-tiba, aku baru sadar… Telapak tangan Ibu yang dahulu saat aku di TK masih sangat halus, sekarang sudah sangat kasar.. Bahkan, ada beberapa bekas luka di sana.. Aku hanya meraba setiap garis tangan Ibu. Perlahan, aku mulai menyusuri telapak tangan sosok yang telah melahirkanku. Terbayang, tentang betapa keras usaha yang telah dilakukan oleh Ibuku. Entah ada berapa bekas luka yang tergores di tangannya yang sudah renta serta kasar itu. Mungkin sepuluh, dua puluh, entahlah. Terlalu banyak. Perlahan, aku terbayang tentang bagaimana Ibuku telah mencuci selama belasan tahun, dari aku TK sampai sekarang aku lulus menjadi sarjana. Entah berapa banyak baju yang telah ia cuci. Entah berapa ratus luka dan rasa dingin yang telapak tangannya lewati. Entah berapa ribu kali Ibu harus dicaci ketika ada sedikit noda merah baru yang katanya menempel di pakaian pelanggan ibu sendiri, yang baru kusadari bahwa itu adalah sedikit noda darah dari tangan Ibu ketika mencuci. Betapa hancurnya perasaanku ketika mengetahui bahwa aku tetap diam saja sedangkan ibuku terluka bertahun-tahun silam dan sebenarnya sangat membutuhkan mesin cuci. Ibu tidak pernah memikirkan untuk dirinya sendiri. Setelah bertahun-tahun, impian Ibu untuk mesin cuci ternyata harus sirna demi memberikan aku sesuap nasi. ….. Perlahan, aku menarik lengan renta yang satu lagi, lengan bapakku. Tangannya lebih kasar dari tangan ibu. Lukanya lebih banyak juga dari luka yang ada di tangan Ibu. Sebagian kukunya ada yang bekas patah sejak lama, entah kapan kejadiannya. Aku langsung mengerti. Bapak yang selama ini bekerja sebagai kuli bangunan, tentu sangat mungkin mengalami luka yang lebih banyak lagi. Terbayang, bagaimana setiap luka ini bisa tercipta ketika Bapak menceritakan pekerjaannya. Ada yang ternyata terkena palu dengan sangat keras oleh temannya sendiri, maupun karena ketidakfokusan dirinya akibat dari terlalu lelah bekerja. Ada luka yang disebabkan karena tergores oleh besi bangunan, ada yang terluka karena mengangkat batu yang terlalu berat, bahkan ada salah satu jari yang sangat kaku dan mungkin sudah patah lama karena pernah tertiban benda berat namun tak mampu menghadapi biaya berobat yang lebih berat.. …….. Aku menangis. Aku baru mengetahui semuanya detik ini. Aku baru melihat betapa banyak hal-hal menyakitkan yang harus orang tuaku lalui, demi menyekolahkan aku yang akhirnya lulus sebagai sarjana berprestasi. Aku yang selama ini bangga akan kehebatan diri dan menganggap bahwa Ibu Bapakku sebagai sosok renta tak berpendidikan yang akan menyusahkan masa depanku nanti, ternyata terpukul oleh realita tentang betapa besar dosa dan kesalahan yang aku berikan kepada orang tuaku sendiri. Aku maluu.. Aku malu sekali. Aku malu pada diriku sendiri. Aku malu pada Ibu Bapakku. Aku malu pada betapa bodohnya aku yang telah membanggakan dan menyombongkan diri serta menganggap bahwa dua malaikat penjagaku adalah beban yang menyusahkan masa depanku nanti. Aku malu, merasa bersalah, dan merasa sangat sangat berdosa. “Mas.. kenapa nangis…? Udah-udah… Cah lanang Anak laki-laki kok nangis..”, ucap Bapak kepada aku, disertai dengan Ibu yang hanya mengusap-usap kepalaku. “I-iya Pak.. Maaf. maaf..”, ucap saya, sambil berusaha menegarkan nada. ** Esok harinya, pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh dan meminta maaf kepada bapak ibu sekaligus minta doa, aku langsung bersiap menemui Pak Firman lagi. Melewati “Pak.. Saya sudah menemui ibu dan bapak saya.. Saya sudah melihat tangan mereka berdua.. Terima kasih banyak karena sudah memerintahkan saya untuk melihat kedua tangan orang tua saya, Pak..”, ucap saya dengan tertunduk malu. “Hmmm… iya.. lalu?”, tanya Pak Firman, menyelidik. “Saya ingin bisa membalas segala kebaikan yang telah orang tua saya berikan… Orang tua saya yang tak lulus SD namun telah mampu membuat saya menjadi orang yang seperti ini.. Saya bisa menjadi seperti ini karena orang tua saya juga, Pak.. Bahkan, justru rasanya perjuangan orang tua saya masih sangat jauh lebih besar dibanding dengan perjuangan saya untuk diri saya sendiri… Saya, ingin membahagiakan mereka, Pak.. Saya sangat ingin..”, ucapku disertai dengan suara yang sangat berat dan menahan tangisan ini. “Hmmmmm…”, Pak Firman menghela nafas panjang. Air mataku tiba-tiba tak tertahankan. Semua tumpah. Tak bersuara, namun aku tau bahwa ada air mata yang menetes di sana. Pak Firman melihat. Aku hanya tertunduk dan berusaha menenangkan tangisan supaya tidak semakin tertumpahkan. “Rudi, kamu adalah anak muda yang memiliki potensi sangat baik. Namun, kesombongan kamu akan menghancurkan kamu suatu saat nanti.. Orang tuamu rela untuk bekerja tidak mengenal tanggal merah demi kamu. Orang tuamu rela untuk bekerja tidak mengenal jam demi kamu. Orang tuamu rela untuk memadamkan segala impian impiannya untuk kamu bisa hidup nyaman dan bisa membesarkan kamu. Dan itu semua mereka lakukan tanpa ragu.. Bukankah begitu..?” tanya Pak Firman. “B-betul Pak..” balasku sambil menyeka air mata di depan Pak Firman. “Selanjutnya.. Karena kamu saat ini sudah mengerti tentang peran orang tuamu dalam hidupmu, sudah mampu menghargai apa perjuangan yang mereka lakukan untukmu, maka saya akan percaya bahwa kamu pun akan mampu untuk menghargai perjuangan maupun peran setiap rekan kerja yang nanti ada di sekitarmu.”, lanjut Pak Firman. “Baik Pak.. Terima kasih banyak..”, ucapku sambil masih berusaha menenangkan diri. “Baiklah. Jadi, terima kasih banyak Rudi. Anda diterima di perusahaan ini di posisi yang Anda inginkan dan sesuai dengan gaji yang kemarin Anda ajukan. Selamat bekerja mulai hari ini. Saya tidak sabar melihat kejutan kamu selanjutnya. Semoga sukses!!!”, ucap Pak Firman menenangkan, sambil mendekatiku dan mengajukan jabat tangan. Aku pun sangat berterima kasih kepada Pak Firman atas kesempatan ini. Memang benar, aku rasanya kurang mampu untuk menghargai perjuangan orang tuaku, dan terasa terlalu fokus bahwa apa yang aku raih adalah hanya karena kerja kerasku. Beberapa bulan setelah aku bekerja di sini, aku sudah dipercaya untuk menjadi pimpinan tim yang baru dibuat untuk ekspansi perusahaan. Syukur sekali, akhirnya aku bisa membalas kebaikan-kebaikan orang tuaku. “Terima kasih banyak karena telah meminta saya untuk pulang dan melihat tangan kedua orang tua saya!” *gambar hanya ilustrasi *ditulis oleh